November 10, 2007

Kampung Naga


Minggu Pagi. 5 November 2007. Pagi ini teman-teman mengajakku jalan ke Kampung Naga, sebuah kampung adat di daerah Salawu Tasikmalaya yang syarat nilai-nilai kehidupan. Sebenarnya sudah lama aku mendengar tentang kebersahajaan kampung adat ini, tetapi baru sekarang aku bisa benar-benar menyaksikan betapa masyarakat Kampung Naga begitu bersahaja dengan tetap menganut nilai-nilai yang telah diwariskan leluhurnya secara turun-temurun. Suasana kampung adat telah terasa begitu kita memasuki kampung Legok Desa Neglasari dengan menapaki ratusan anak tangga dan jalan setapak disamping kanan sungai Ciwulan. 108 rumah adat dengan bentuk yang sama ada di sana. Semuanya tanpa listrik. Ketidakberadaan listrik di Kampung Naga didasarkan pada alasan bahwa material rumah yang berasal dari kayu/bambu yang mudah terbakar dan menghindari kesenjangan sosial. Karena dengan adanya listrik maka orang yang mampu akan bisa membeli lemari es, komputer dan barang elektronik lainnya, sementara yang tidak mampu tidak dapat membeli. Keunikan lainnya adalah pada letak dapur yang berada di depan rumah, dengan maksud bahwa kalau ada tetangga yang kekurangan saat memasak bisa meminta bantuan tetangganya dengan mudah. Selain itu kita tidak akan melihat adanya kamar mandi di rumah-rumah, karena ada Pagar Kandang Jaga yang membatasi wilayah “bersih” dan wilayah “kotor. Rumah-rumah, rumah ageung, balai pertemuan, leuit (lumbung padi) dan mesjid terletak di dalam pagar yang disebut wilayah “bersih”, sementara kamar mandi / jamban, kandang hewan, tempat menumbuk padi berada di luar pagar atau termasuk wilayah “kotor”. Kesederhanaan dan kebersamaan menjadi ciri unik masyarakat Kampung Naga hingga kerukunan dapat terjalin dengan kuat. Dengan falsafah ”Panyauran gancang temonan, pamundut gancang caosan, parentah gancang lakonan”, masyarakat setempat tetap mengikuti program-program pemerintah selama tidak bertentangan dengan adat setempat. Nah teman-teman... kalau teman-teman suka dengan objek wisata budaya, Kampung Naga agaknya bisa menjadi alternatif tujuan objek wisata budaya. (Nuning)